Di Atas Dasar Pancasila Rakyat Indonesia Tetap Bersatu
(Amanat Presiden Sukarno pada peringatan Hari Lahirnya Pancasila di Gedung Departemen Luar Negeri, 1 Juni 1964)
Saudara-saudara sekalian,
Pada saat sekarang ini saya berdiri di sini di hadapan saudara-saudara sekalian, di tengah-tengah hiasan-hiasan yang amat mengagumkan dalam suasana, yang bagi saya sendiri amat mengharukan. Malahan sesudah saya mendengar pidato-pidato tadi – terutama sekali pidato dari Saudara Subandrio – saya menanya kepada diri saya sendiri. Ada apa dengan diriku sekarang ini. What is the matter with me? Sebab sebenarnya segala sesuatu yang terjadi sekarang mengenai diri saya, tidak saya duga-duga lebih dahulu.
Pada saat sekarang ini saya berdiri di sini di hadapan saudara-saudara sekalian, di tengah-tengah hiasan-hiasan yang amat mengagumkan dalam suasana, yang bagi saya sendiri amat mengharukan. Malahan sesudah saya mendengar pidato-pidato tadi – terutama sekali pidato dari Saudara Subandrio – saya menanya kepada diri saya sendiri. Ada apa dengan diriku sekarang ini. What is the matter with me? Sebab sebenarnya segala sesuatu yang terjadi sekarang mengenai diri saya, tidak saya duga-duga lebih dahulu.
Saudara
Subandrio tadi pagi saya tanya, apa sebab saudara mengadakan peringatan
Lahirnya Pancasila, sesudah Pancasila itu berumur 19 tahun? Pertanyaan
itu tadi telah dijawab pula oleh Saudara Subandrio saat membuka
peringatan pada malam ini. Diakui oleh beliau, bahwa angka 19 adalah
angka yang aneh, katakanlah angka sembarangan. Sehingga saudara-saudara
mengerti bahwa saya sendiri tatkala diberi tahu oleh saudara Subandrio,
bahwa akan diadakan satu peringatan besar-besaran Lahirnya Pancasila,
saya agak keheran-heranan.
Malahan
tatkala saya mendengar pidato-pidato tadi, saya menanya kepada diri
saya sendiri what is the matter with me? Sebab pembicara-pembicara tadi
semuanya menyatakan terima kasih kepada saya. Bahkan nada yang
terkandung di dalam ucapan-ucapan pembicara tadi ialah nada mengagungkan
kepada saya. What is the matter with me? Kenapa diucapkan terima kasih
kepada saya? Kenapa saya diagung-agungkan?
Padahal
toh sudah sering saya katakan, bahwa saya bukan pencipta Pancasila.
Saya sekedar penggali Pancasila dari bumi tanah air Indonesia ini, yang
kemudian lima mutiara yang saya gali itu saya persembahkan kembali
kepada bangsa Indonesia. Malah pernah saya katakan, bahwa sebenarnya
hasil – atau lebih tegas penggalian dari Pancasila ini – adalah
pemberian Tuhan kepada saya.
Tadi
Bapak Suroso memakai perkataan ’wahyu’. Dikatakan bahwa saya mendapat
wahyu, yang dengan wahyu itu saya kemukakan Pancasila. Saudara Suroso,
lebih dahulu saya dengan kerendahan hati mau mengatakan kepada Saudara,
bahwa saya tidak pernah mendapat wahyu. Wahyu hanyalah Nabi-nabi yang
memperolehnya. Saya bukan Nabi, saya seorang manusia biasa. Tetapi
syukur alhamdulillah. Ada lagi pembicara tadi memakai perkataan ilham.
Ya, benar, saya memang mendapat ilham dari Tuhan Yang Maha Kuasa.
Sebagaimana tiap-tiap manusia jikalau ia benar-benar memohon kepada
Allah s.w.t. diberi ilham oleh Allah s.w.t. itu.
Di
dalam salah satu pidato di Senayan tempo hari, pernah saya ceritakan,
pada suatu malam yang sunyi-senyap, yang keesokan harinya saya
diharuskan pidato dalam Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai – yaitu Badan
Penyelidik Kemerdekaan – di gedung yang di belakang saya ini. Sesudah
Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai itu bersidang beberapa hari lamanya, sesudah
berpuluh-puluh anggota dari Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai itu berpidato,
akhirnya datanglah giliran saya. Ditentukan oleh Ketua dari Dokuritsu
Zyunbi Tyoosakai itu, bahwa saya ke-esokan harinya akan mendapat giliran
berbicara. Berbicara memberi jawaban atas pertanyaan, apakah dasar yang
hendak kita pergunakan untuk meletakkan negara Indonesia Merdeka di
atasnya.
Di
dalam pidato beberapa waktu lalu di Senayan itu, saya telah ceritakan,
pada satu malam – tengah-tengah malam yang keesokan harinya saya
diharuskan mengucapkan pidato – saya keluar dari rumah Pegangsaan Timur
56 yang sekarang tempat dari Gedung Pola. Saya ke luar di malam yang
sunyi itu dan saya menengadahkan wajah saya ke langit, dan saya melihat
bintang gemerlapan ratusan, ribuan, bahkan puluhan ribu. Dan di situlah
saya merasa kecilnya manusia, disitulah saya merasa-kan daifnya aku ini,
di situlah aku merasa pertanggungan jawab yang amat berat dan besar
diletakkan di atas pundak saya, oleh karena keesokan harinya saya harus
mengemukakan usul saya tentang hal dasar apa negara Indonesia Merdeka
harus memakai.
Pada
saat itu dengan segenap kerendahan hati saya memohon kepada Tuhan Yang
Maha Esa, – “Ya Allah, ya Robbi, berikanlah petunjuk kepadaku.
Berikanlah petunjuk apa yang besok pagi akan kukatakan, sebab Engkaulah
ya Tuhanku, mengerti bahwa apa yang ditanyakan kepadaku oleh Ketua
Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai itu bukan barang yang remeh, yaitu dasar
daripada Indonesia Merdeka. Dasar daripada satu negara yang telah
diperjuangkan oleh seluruh Rakyat Indonesia berpuluh-puluh tahun dengan
segenap penderitaannya, yang penderitaan-penderitaan itu aku sendiri
telah melihatnya. Dasar daripada Negara Indonesia Merdeka yang menjadi
salah satu unsur daripada Amanat Penderitaan Rakyat.
Aku,
ya Tuhan telah Engkau beri kesempatan melihat penderitaan-penderitaan
rakyat untuk mendatangkan Negara Indonesia yang merdeka itu. Aku melihat
pemimpin-pemimpin, ribuan, puluhan ribu, meringkuk di dalam penjara.
Aku melihat rakyat menderita. Aku melihat orang-orang mengorbankan ia
punya harta benda untuk tercapainya cita-cita itu. Aku melihat
orang-orang didrel mati. Aku melihat orang naik tiang penggantungan.
Bahkan pernah menerima surat daripada seorang Indonesia yang keesokan
harinya akan naik tiang penggantungan. Dalam surat itu dia mengamanatkan
kepada saya sebagai berikut: ’Bung Karno, besok aku akan meninggalkan
dunia ini. Lanjutkanlah perjuangan kita ini’. Ya Tuhan, ya Allah, ya
Robbi, berilah petunjuk kepadaku, sebab besok pagi aku harus memberi
jawaban atas pertanyaan yang maha penting ini!”
Saudara-saudara,
setelah aku mengucapkan doa kepada Tuhan ini, saya merasa mendapat
petunjuk. Saya merasa mendapat ilham. Ilham yang berkata, ”Galilah apa
yang hendak engkau jawabkan itu dari bumi Indonesia sendiri.” Maka malam
itu aku menggali, menggali di dalam ingatanku, menggali di dalam
ciptaanku, menggali di dalam khayalku, apa yang terpendam di dalam bumi
Indonesia ini, agar supaya hasil dari penggalian itu dapat dipakainya
sebagai dasar daripada Negara Indonesia Merdeka yang akan datang. Sebab,
bahwa akan datang Indonesia Merdeka, tidak ada seorangpun bisa
mem-bantahnya. Tidak ada seorangpun yang mengetahui jalannya sejarah.
Tidak dapat dibantah, bahwa suatu hari akan datang yang Indonesia akan
menjadi merdeka.
Berulang-ulang
kukatakan di dalam pidato-pidatoku sebelum saat ini, bahwa kedatangan
Indonesia Merdeka adalah pasti, pasti, sebagaimana matahari terbit pada
tiap pagi. Dan aku telah berkata, siapa yang bisa menahan jalannya
matahari, dialah akan bisa menahan datangnya Indonesia Merdeka.
Malah,
saudara-saudara, keyakinana ini sudah saya ucapkan dalam tahun 1929.
Malah ucapan inilah yang menjadi sebab saya ditangkap oleh pihak
Belanda, dilemparkan ke dalam penjara, ucapan yang berbunyi: ”Nanti
tidak lama lagi – tidak lama lagi sepanjang sejarah – akan pecah satu
peperangan besar yang dinamakan Perang Pasifik. Dan di dalam perang
Pasifik itu Indonesia akan merdeka.” Itu saya ucapkan dalam tahun 1929,
saudara-saudara. Dan oleh karena ucapan inilah saya ditangkap, dituntut
di muka pengadilan, dijatuhi vonis, dilemparkan ke dalam penjara,
sehingga, sebagai saya katakan tadi, adalah satu keyakinan bagi saya,
yakin ilmul yakin, ainul yakin, hakkul yakin, bahwa Indonesia pasti akan
merdeka.
Nah,
saudara-saudara, pada waktu itu memang, saudara-saudara, fajar telah
menyingsing. Itu pun telah kukatakan pada waktu bulan Mei tahun 1945,
bulan Mei saudara-saudara, fajar telah menyingsing. Tidak lama lagi
matahari Indonesia Merdeka akan terbit. Sudah, malam sebelum 1 Juni,
saudara-saudara, saya menekukkan lutut ke hadirat Allah Subhanahu wa
ta’allah di kebun Pegangsaan Timur 56, di belakang gedung yang sekarang
bernama Gedung Pola, memohon petunjuk daripada Tuhan. Dan Tuhan memberi
ilham: Galilah sendiri di dalam bumi Indonesia, di dalam kalbunya rakyat
Indonesia, dan engkau akan mendapat apa yang harus dijadikan dasar bagi
Negara merdeka yang akan datang.
Keesokan
harinya, saudara-saudara, saya ucapkan pidato di gedung belakang ini,
di gedung yang bagi saudara-saudara adalah di hadapan saudara-saudara –
disaksikan oleh banyak anggota-anggota lain daripada Dokuritsu Zyunbi
Tyoosakai, disaksikan oleh opsir-opsir balatentara Jepang, dijaga oleh
serdadu-serdadu Jepang yang bersenjatakan bayonet. Saya sadar,
saudara-saudara, bahwa ucapan yang hendak saya ucapkan mungkin adalah
satu ucapan yang berbahaya bagi diriku, sebab ini adalah jaman perang,
kita pada waktu itu di bawah kekuasaan imperialis Jepang, tetapi juga
pada waktu itu, saudara-saudara, aku sadar akan kewajiban seorang
pemimpin. Kerjakanlah tugasmu, kerjakanlah kewajibanmu, tanpa
menghitung-hitung akan akibatnya.
Kemudian
di Bogor, saudara-saudara, tatkala saya memberi amanat kepada
perwira-perwira sarjana hukum daripada empat Angkatan Bersenjata kita,
Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut, Angkatan Kepolisian – dan
perwira-perwira sarjana hukum yang menghadap saya di Bogor dan mereka
minta amanat, kemarin saya ucapkan, kemarin juga saya ucapkan kembali
apa yang saya ucapkan kepada diriku sendiri pada pagi hari tanggal 1
Juni 1945, yaitu ajaran yang diberikan oleh Sri Krisna kepada Arjuna
yang terulis di dalam Bhagawat Gita.
Sri
Krisna berkata kepada Arjuna, “Kerjakan kewajibanmu, jalankan tugasmu,
tanpa menghitung-hitung akan akibatnya. Karmanye fadikaraste temapalesyu
kadattjhana, artinya, kerjakanlah kewajibanmu tanpa menghitung-hitung
akan akibatnya. Saya pada waktu itu berkata pula kepada diriku sendiri,
pagi-pagi nian 1 Juni 1945: Soekarno, karmanye fadikaraste temafalesyu
kadattjhana, kerjakan kewajibanmu tanpa meng-hitung-hitung akan
akibatnya. Dan kira-kira pukul 10 pagi, saudara-saudara, pada waktu itu
saya mengucapkan pidato yang saudara-saudara semuanya kenal dengan nama,
judul ”Lahirnya Pancasila”.
Sekarang,
saudara-saudara mengadakan peringatan ini dan pada saat saya berhadapan
dengan saudara-saudara, saya menanya kepada diriku sendiri, what
happens with me? What is the matter wiht me? Karena orang menyatakan
terima kasih kepadaku, orang mengagung-agungkan akan daku, pada hal aku
bukan pencipta dari Pancasila, pada hal aku mengeluarkan galian
Pancasila itu karena malamnya aku memohon kerpada Allah Subhanahu wa
ta’allah. Bukan Soekarno yang mengada-kan Pancasila, tetapi ialah
sebenarnya pemberian daripada Allah Subhanahu wa ta’alla sebagai ilham
kepada Soekarno. Marilah kita semuanya mengucapkan terima kasih kepada
Allah Subhanahu wa ta’alla.
Saudara-saudara,
kedua kalinya, what is the matter with me, kok sekarang ini saya
diagung-agungkan, bukan hanya pada hari Lahirnya Pancasila, notabene
yang kesembilanbelas, meng-agung-agungkan kepada saya, tetapi juga tahun
ini, nanti Insya Allah tanggal 6 Juni yang terkenal sebagai hari
lahirnya Soekarno, orang mau mengadakan perayaan-perayaan yang maha
hebat. Dari kanan, dari kiri, dari muka, dari belakang, dari mana-mana
saya mendapat permintaan agar supaya saya suka menerima
persembahan-persembahan pada hari nanti 6 Juni 1964, persembahan yang
berupa macam-macam hal. Ada yang berupa tari-tarian, ada yang akan
berupa nyanyian-nyanyian kanak-kanak, ada yang akan berupa hadiah-hadiah
yang amat berharga. What is the matter with me? Kenapa tahun-tahun yang
dulu tidak?
Bukan
saya minta tahun-tahun yang dulu itu, tidak, tetapi kenapa
sekonyong-konyong tahun ini orang hendak mengadakan peringatan hari
ulang tahun Bung Karno dengan cara yang demikian hebatnya? Kenapa tahun
ini orang mem-peringati hari Lahirnya Pancasila, kenapa tahun ini orang
mengagung-agungkan namanya Soekarno sebagai pencipta daripada Pancasila.
What is the matter with me?
Mengenai
hari ulang tahun saya yang akan datang, jikalau dikaruniai Tuhan,
saudara-saudara – sebab mati-hidup manusia ada di tangan Tuhan – saya
hendak berkata sebagai berikut: Saya terima segala pernyataan cinta
kepada saya yang akan berupa hadiah atau nyanyian-nyanyian atau
kesenian-kesenian yang hendak dipersembahkan kepada saya pada nanti hari
6 Juni 1964. Saya mengucap terima kasih dan saya mengatakan Insya Allah
akan saya terima. Tetapi saudara-saudara, Insya Allah pula, pada
tanggal 6 Juni yang akan datang itu saya tidak ada di Jakarta.
Saudara-saudara
barangkali mengetahui, bahwa telah tercapai persetujuan antara Tengku
Abdul Rahman dengan Presiden Soekarno untuk bertemu satu sama lain,
mengadakan perundingan satu dengan yang lain. Dan itu adalah satu hal
yang sangat penting, saudara-saudara. Maka menurut rancangan, saya Insya
Allah akan meninggalkan tanah air nanti pada tanggal 5 Juni, sehingga
pada tanggal 6 Juni itu saya tidak ada ditengah-tengah saudara-saudara.
Saya akan meninggalkan tanah air untuk membela tanah air Indonesia. Saya
akan meninggalkan tanah air untuk berjuang mati-matian untuk membela
Indonesia. Saya akan meninggalkan tanah air untuk mengemban Amanat
Penderitaan Rakyat.
Dalam
pada saya mengucap terima kasih atas maksud dan niat yang baik daripada
banyak golongan untuk merayakan hari ulang tahunku pada tanggal 6 Juni
yang akan datang ini dengan cara yang sehebat-hebatnya, dalam
mengucapkan terima kasih itu, saya mohon kepada seluruh rakyat Indonesia
doa restu, supaya saya di luar negeri di dalam berhadapan muka dengan
wakil-wakil daripada neo-kolonialis ”Malaysia” bisa memper-tegakkan
kemerdekaan dan kepentingan Republik Indonesia dengan cara yang
sebaik-baiknya. Nanti jikalau dikehendaki Tuhan, saya kembali lagi ke
tanah air dengan membawa hasil yang baik, pada waktu itulah segala
persembahan-persembahan, entah yang berupa kesenian, entah yang berupa
apapun akan bisa saya terima. Saudara-saudara, maka kita sekarang ini
berjalan terus, berjalan terus dengan semboyan yang saudara-saudara
sudah kenal satu sama lain: Onward, ever onward, no retreat.
Dan
saya bisa mengatakan semboyan ini: Onward, ever onward, never retreat,
oleh karena saya tahu bahwa seluruh bangsa Indonesia dari Sabang sampai
Merauke berdiri di belakang saya, saudara-saudara. Sudah terbukti bahwa
Pancasila yang saya gali dan saya persembahkan kepada rakyat Indonesia,
bahwa Pancasila itu adalah benar-benar satu dasar yang dinamis, satu
dasar yang benar-benar dapat meghimpun segenap tenaga rakyat Indonesia,
satu dasar yang benar-benar dapat memper-satukan rakyat Indonesia itu
untuk bukan saja mencetuskan revolusi, tetapi juga menegakkan revolusi
ini dengan hasil yang baik.
Jikalau
aku pergi keluar negeri untuk mengadakan pem-bicaraan dengan Tengku
Abdul Rahman Putra, maka aku adalah sebenarnya utusan, wakil daripada
revolusi Indonesia. Dan Tengku boleh tahu, revolusi Indonesia itu bukan
revolusinya Soekarno, tetapi revolusi daripada seluruh Rakyat Indonesia
dari Sabang sampai Merauke.
Ever
onward, no retreat! Sejak tahun 1929 saya berkata, matahari akan
terbit. Mei 1945 saya telah berkata, fajar telah menyingsing. Demikian
pula saya sekarang berkata, matahari telah tinggi dan matahari telah
mencapai puncak kejayaan dan kebahagiaan daripada rakyat Indonesia. Mari
kita berjalan terus.
Saya
mengucap beribu-ribu terima kasih kepada segenap rakyat Indonesia atas
peringatan Lahirnya Pancasila ini. Peringatan ini, saudara-saudara, saya
terima dan lebih-lebih saya terima peringatan ini sebagai pernyataan
daripada seluruh rakyat Indonesia, bahwa di atas dasar Pancasila itu
rakyat Indonesia akan tetap bersatu padu, tetap berjalan sebagai satu
laskar, satu barisan yang maha kuat, satu banjir yang maha sakti, banjir
daripada revolusi Indonesia yang sebenarnya adalah sebagian daripada
Revolution of Mankind.
Mari kita berjalan terus, terus! Onward, ever onward, never retreat.
Insya Allah, kita pasti menang!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar