Aku Presiden Indonesia Bukan Presiden Keluarga
Cinta
Bung Karno terhadap ibu Wardoyo senenarnya sangatlah besar, namun
demikian kecintaannya terhadap negeri ini jauh lebih besar dari kecintan
terhadap apapun bahkan terhadap dirinya sendiri. Itulah Bung Karno yang
terlahir serta tumbuh dan begitu mencintai apa yang disebut Indonesia.
Sedikitnya ada dua kejadian yang menggambarkan kemarahan Bung Karno kepada kakak kandungnya, Sukarmini Wardoyo, atau sering dipanggil Ibu Wardoyo. Kemarahan yang pada waktu itu, cukup beralasan, sekaligus menggambarkan kepribadian Sukarno. Sekalipun begitu, kemarahan Bung Karno bersifat spontan, sesuai karakternya yang memang meledak-ledak, terlebih jika mendengar, melihat, dan merasakan sesuatu yang mengusik nuraninya.
Sedikitnya ada dua kejadian yang menggambarkan kemarahan Bung Karno kepada kakak kandungnya, Sukarmini Wardoyo, atau sering dipanggil Ibu Wardoyo. Kemarahan yang pada waktu itu, cukup beralasan, sekaligus menggambarkan kepribadian Sukarno. Sekalipun begitu, kemarahan Bung Karno bersifat spontan, sesuai karakternya yang memang meledak-ledak, terlebih jika mendengar, melihat, dan merasakan sesuatu yang mengusik nuraninya.
Sekalipun
begitu, harus dikemukakan terlebih dahulu di sini, bahwa pada galibnya,
hubungan persaudaraan Bung Karno dan kakaknya, Ibu Wardoyo, sangatlah
dekat. Bahkan, anak-anak Bung Karno juga sangat dekat dengan budenya.
Tak heran, manakala Fatmawati meninggalkan Istana, frekuensi kunjungan
Ibu Wardoyo ke Istana menjadi semakin intens. Sebaliknya, Guntur, Mega,
Rachma, Sukma, dan Guruh senang jika kedatangan budenya.
Kiranya,
gambaran di atas cukup bagi kita untuk meyakini, bahwa jalinan tali
persaudaraan Bung Karno dengan kakaknya, sangatlah kuat. Itu artinya,
sekali lagi harus dikemukakan di sini, jika Bung Karno sampai marah
kepada “mbakyu”-nya, harus pula dipahami sebagai sebuah ekspresi kasih.
Baiklah.
Kiranya cukup penggambaran mengenai hubungan Bung Karno dan Ibu
Wardoyo. Menjawab pertanyaan, “Lantas, apa yang membuat Bung Karno marah
kepada kakaknya?”
Kemarahan
pertama ditunjukkan Bung Karno ketika ia mengetahui Ibu Wardoyo
berlatih main tenis lapangan, dan kemudian menggemari tenis lapangan
sebagai olahraga rutin. Permainan tenis lapangan, oleh Bung Karno
disebut sebagai permainan mewah dan jauh dari suasana batin rakyat
Indonesia. Maklumlah, pada waktu itu, sekitar tahun 50-an, olahraga
tenis lapangan memang hanya dimainkan kalangan orang-orang kaya. Bung
Karno tidak mau salah satu anggota keluarganya memainkan olahraga orang
kaya itu.
Lantas, kemarahan apa lagi?
Kali
ini, kemarahan besar. Lagi-lagi, Ibu Wardoyo-lah alamat amarah Bung
Karno. Kemarahan itu dipicu dari upaya seorang pengusaha Belanda untuk
memasukkan proposal proyek kepada pemerintah Republik Indonesia.
Kemudian, dalam rangka mengegolkan proposal tersebut, pengusaha Belanda
itu melakukan pendekatan khusus kepada Ibu Wardoyo. Celakanya, Ibu
Wardoyo menyanggupi permintaan pengusaha Belanda itu, membawa proposal
tadi kepada Sukarno, adiknya. Kemudian, diserahkanlah proposal itu
kepada ajudan, untuk diteruskan kepada Sukarno.
Satu
hal, Ibu Wardoyo lupa, Sukarno dalam kapasitas sebagai Presiden
Republik Indonesia, adalah Presiden bagi bangsa dan negaranya, bukan
presiden untuk saudaranya. Karenanya, ia sangat marah ketika menerima
proposal itu dari ajudan, dan sang ajudan mengatakan bahwa proposal itu
merupakan titipan Ibu Wardoyo, kakaknya. Dengan geram, Bung Karno
meremas proposal itu dan membantingnya ke lantai.
Nah,
bersambung ke penuturan ajudan Bung Karno, Bambang Widjanarko terkait
peristiwa di atas. Penuturan tadi, sekaligus membenarkan bahwa peristiwa
itu bukan isapan jempol. Bambang bercerita, bahwa suatu hari ia
dipanggil Bung Karno masuk kamarnya di Istana Merdeka. “Bambang, saya
tidak mau bertemu Mbakyu Wardoyo dalam satu bulan, saya sedang marah
kepadanya. Lebih baik kamu usahakan agar Mbakyu tidak datang ke Istana
ini.”
Bambang
tahu, itu tugas berat dan rumit. Sebab di sisi lain, ia mengetahui
betul kedekatan Bung Karno dengan Ibu Wardoyo, serta kedekatan Ibu
Wardoyo dengan putra-putri Bung Karno. Tapi, toh Bambang harus menjawab,
“Siap, Pak.”
Bambang
yang tidak tahu duduk persoalan sebenarnya, segera menghubungi Pak
Hardjowardoyo, Kepala Rumah Tangga Istana. Dari Pak Hardjo pula, Bambang
mendapatkan cerita seperti terpapar di atas. Sedikit yang membedakan,
versi Pak Hardjo adalah, bahwa Bung Karno tahu ada pengusaha Belanda
“memakai” Ibu Wardoyo untuk mengegolkan proyek ke Presiden Sukarno,
justru dari sebuah suratkabar Belanda.
Dalam
banyak kesempatan, baik lisan maupun melalui sikap yang tegas, Bung
Karno selalu menanamkan kepada istri-istri, anak-anak, dan keluarga,
bahwa yang menjadi Presiden adalah Sukarno, sedangkan yang lain –istri,
anak, saudara– adalah rakyat biasa. Para istri, anak-anak dan anggota
keluarga, secara umum, menyadari dan memahami sepenuhnya. Karenanya,
yang tampak pada diri Sukarno, baik semasa hidup maupun setelah jazadnya
menyatu dengan bumi, adalah sosok seorang Presiden yang begitu kuat dan
mandiri.
#sumber: arsipkumpulankisah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar